BK-RI BID LITIGASI

BARISAN KEPEMUDAAN REPUBLIK INDONESIA BIDANG ADVOKASI DAN LITIGASI BAIK DILUAR MAUPUN DI DALAM PENGADILAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT.

ORGANISASI

BARISAN KEPEMUDAAN REPUBLIK INDONESIA (OKP BK-RI)

BIDANG ADVOKASI DAN LITIGASI

STRUKTUR

KONSULTASI & BANTUAN HUKUM (KBH)

Kepala Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) Pada Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (OKP BK-RI) Bidang Advokasi dan Litigasi baik diluar maupun didalam Pengadilan.

Bidang Informasi dan Publikasi: Dedy Mulyadi, ST

Hubungi Kami

Kontak Person: 0821-8998-5575

KETUA UMUM KBH:

  • Richard William dari Pengacara Gapta.
Ketua Umum Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) Bidang Advokasi dan Litigasi Baik Diluar Maupun di Dalam Pengadilan

SEKRETARIS JENDERAL KBH:

  • Topan Nugraha, SH., MH
Sekretaris Jenderal Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) Bidang Advokasi dan Litigasi Baik Diluar Maupun di Dalam Pengadilan

STAF ADMINISTRASI KBH :

  • Muhammad Azmi, SH
Staf Administrasi Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) Bidang Advokasi dan Litigasi Baik Diluar Maupun di Dalam Pengadilan

ADVOCAT :

  • Richard William & Rekan.
  • Inka Harsani Nasution, SH., MH & Part.
  • Asep Mulyadi, SH., MH & Rekan
  • H.RM.Riesta Yutaka, SH., MH & Rekan.
  • Topan Nugraha, SH.,MH & Rekan.
  • Fardinan, SH., MH & Rekan.
  • Muh Abdul Rozak, SH., MH & Rekan.
  • R.Hermawansyah, SH & Rekan
  • Amin Sukirman, SH & Rekan.
  • Muhammad Azmi, SH
  • Nila Hermawati, SH
  • Aswadi, SH

MEDIATOR :

  • Icang Iskandar Rukmana
  • Relly Hilman
  • Yudi Karya Adjie MND
  • Agus Gunawan, SH

MAGANG :

  • …………………….. ;
  • …………………….. ;
  • …………………….. ;

PEMBINA :

  • Dosen UNTAG Kota Cirebon ADVOCAT, Ketua DPC KAI Cirebon dan Selaku Kabid Hukum dan Ham Pada DPN OKP BK-RI; Inka Hardani Nasution, SH., MH & Part

NARASUMBER INI ADALAH INKA HARSANI NASUTION, SH., MH. HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA SELAKU KEPALA BIDANG HUKUM DAN HAM ORGANISASI BARISAN KEPEMUDAAN REPUBLIK INDONESIA DOSEN DARI UNTAG KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT.

  • BIO DATA N a m a : Inka Harsani Nasution, SH., MH. Tempat / Tgl.Lahir : Medan, 27 Juli 1967 Pendidikan Terakhir : ( Strata 2) Magister Ilmu Hukum Pengalaman Kerja : Dosen pada UNTAG Cirebon Advokat Ketua DPC KAI Kota Cirebon Kabag hukum dan advokasi APINDO Kab. Cirebon Konsultan Hukum dan Pemateri pada LPK Graha Wisata kabupaten cirebon Alamat Kantor : UNTAG Cirebon, Jl Perjuangan Kota Cirebon Kantor Hukum IR & Part, Jl Veteran Kota Cirebon Kantor Hukum Inka Harsani Nasution & Part, Jl. Tegalwangi Kabupaten Cirebon Alamat Rumah : Jl. Sasana Budaya No. 190 Kota Cirebon .
  • KONTRAK KULIAH Minimal kehadiran 80%, mahasiswa yang kehadirannya kurang dari pesentase tersebut tetapi diatas 50% maka mendapatkan tugas Artikel Ilmiah agar dapat mengikuti Ujian. Metode pengajaran dengan metode lecture, diskusi kelompok, dan penugasan Tugas meliputi tugas Individu maupun kelompok, tugas individu maksimal pengumpulan 1 minggu sebelum UTS. Selanjutnya tugas kelompok dikumpulkan ketika sesuai jadwal presentasi. Penilaian, Tugas 20% UTS 40%, UAS 40%.

1. PEDAHULUAN

  • DESKRIPSI MATA KULIAH Berkembangnya Fenomena globalisasi merupakan isu penting yang mengemuka dan menjadi isu utama di negara-negara berkembang. Inti dari globalisasi adalah untuk memperdalam dan mempercepat interaksi ekonomi antar negara, yang salah satunya yang dapat dicapai adalah menghilangkan hambatan-hambatan (barries) perdangan internasional. Dampak dari globalisasi tersebut sangat terasa bagi perekonomian Indonesia. Menghadapi fenomena tersebut, Mata kuliah ini mencoba mendeskripsikan konsep umum, strategi, kebijaksanaan, kenyataan ekonomi dan globalisasi  ekonomi. Selain itu, MK ini mempelajari tentang kajian ekonomi  dengan pendekatan sistem.
  • TUJUAN UMUM DAN TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS Mata kuliah ini di design agar mahasiswa dapat memahami sistem dan perubahan sistem perekonomian Indonesia. Selanjutnya memberikan pemahaman dan membangun mahasiswa terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
  • TUJUAN UMUM DAN TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan beberapa konsep dan teori ekonomi sehingga mahasiswa dapat menganalisis berbagai persoalan sosial ekonomi yang berkembang di negara berkembang khususnya Indonesia. Mahasiswa mampu memahami, menganalisis dan menjelaskan dinamika sistem ekonomi di Indonesia dan berbagai variabel dan indikator-indikator yang mempengaruhinya. Mahasiswa dapat menjelaskan perekonomian Indonesia melalui pendekatan sistem.
  • PUSTAKA D Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta, 2000. A F Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996. T A Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006 R
  • PUSTAKA D Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003. A F Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan Umum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004. T Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 2000. A R

1. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara : Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana mmelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Kewenangan Hukum Acara Perdata Umum Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. ( hukum formil ). Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa bila terjadi suatu proses acara  perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama Dengan Hukum Acara Perdata Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Perbedaan Hukum Acara Dan Hukum Acara Peradilan Agama A. Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang beragama islam (khusus) sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi masyarakat umum. B. Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah, HIR (dalam jawa) dan RBG (luar jawa dan madura) C.    Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara peradilan agama contoh alam bidang perkawinan •    Permohonan dispensasi umur kawin •    Permohonan izin kawin •    Permohonan penetapan wali adhol •    Permohonan penetapan perwalian •    Permohonan penetapan asal-usul anak D.     Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus tertentu atau khusus.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.
  • PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

2. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

  • SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989: “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
  • SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989  yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang cerai talak, cerai gugat dan cerai karena alasan zina.
  • SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA SUMBER UTAMA HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA : HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum). Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor  Tahun 2006. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947. PP Nomor 9 Tahun 1975.  RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering). Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. Surat Edaran Mahkamah Agung. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih, DLL
  • SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa SUMBER UTAMA HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA: Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987. Yuriprudensi. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

3. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan : “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 2)  Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 3)  Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 4)  Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut..
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama Yang dengan cepat dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk  kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama Yang dimaksud ringan adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 5)   Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 6)  Asas Legalitas Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa .  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 1)  Asas Personalitas Ke-islaman Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a)    Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b)    Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c)     Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan,
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa. Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam. Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 2.)  Asas Ishlah (Upaya perdamaian) Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 3)  Asas Terbuka Untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan sidang tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 4)  Asas Equality Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah : a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”. b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law” c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 5)  Asas “Aktif” memberi bantuan Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 6) Asas Upaya Hukum Banding Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 7) Asas Upaya Hukum Kasasi Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 8)  Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
  • ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

4. PERADILAN AGAMA

  • PERADILAN AGAMA Kewenangan Mengadili Peradilan Agama KEWENANGAN MENGADILI BADAN PERADILAN AGAMA DAPAT DIBAGI MENJADI 2 (DUA) KEWENANGAN YAITU: Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama..
  • PERADILAN AGAMA Kewenangan Mengadili Peradilan Agama Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”.
  • PERADILAN AGAMA Tugas Pokok Badan Peradilan Agama Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: Perkawinan. Waris. Wasiat. Hibah. Wakaf. Zakat. Infaq. Shadaqoh. Ekonomi Syari’ah. (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
  • PERADILAN AGAMA Tugas Pokok Badan Peradilan Agama “Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum”.
  • PERADILAN AGAMA Tugas Lain Dari Badan Peradilan Agama Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-peraturan lainnya yaitu : 1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989. 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer. 3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006). 4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.
  • PERADILAN AGAMA Jenis Perkara di Lingkungan Peradilan Agama Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-peraturan lainnya yaitu : 1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989. 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer. 3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006). 4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.

5. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA

  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA A. URUTAN BERACARA DI PERADILAN UMUM Urutan beracara pada hukum acara (Peradilan Umum) a. Gugatan b. Mediasi c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi) d. Replik (penggugat, lugas) e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi) f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen masing2) g. Kesimpulan h. Putusan
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut :
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 1)   Bidang Perkawinan Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah : a)Permohonan dispensasi umur kawin b)Permohonan izin kawin c)Permohonan penetapan wali adhol d)Permohonan penetapan perwalian e)Permohonan penetapan asal-usul anak
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan. (1)  Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)). (2)  Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian b) Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1)) c) Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak. d)  Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1)
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006.
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006. f)  Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990).
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 3)  Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam a) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam. b) Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 3)  Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam c) Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama d)  Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR.
  • URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 4)  Sengketa Milik Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : (1)  Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2)  Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

6. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Seseorang yang akan berperkara di Pengadilan Agama datang secara pribadi atau melalui kuasannya yang sah (dengan Surat Kuasa) mengajukan surat gugatan atau permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dan mendaftarkannya kepada petugas yang ditunjuk menerima surat gugatan atau permohonan tersebut. Kemudian petugas yang menerima surat gugatan atau permohonan tersebut menaksir uang muka/panjar biaya perkara yang harus dibayar dengan membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) lalu penggugat atau pemohon membayar uang muka/panjar biaya perkara ke kasir.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Proses Berperkara di Pengadilan Agama Selanjutnya petugas kasir memberi nomor perkara pada surat gugatan atau permohonan tersebut dan menyerahkan satu eksemplar salinan surat gugatan atau permohonan dan lembar pertama (asli) SKUM kepada yang mengajukan perkara. Setelah itu perkara tersebut didaftarkan ke dalam buku induk perkara oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan jenis perkaranya, dengan demikian perkara tersebut telah didaftar secara resmi dan akan ditentukan Majelis Hakim yang akan memerikasanya oleh Ketua Pengadilan.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Pengertian surat gugatan  ialah surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berkompeten yang memuat tuntutan hak dan adanya kepentingan hukum serta mengandung sengketa. Yang mengajukan disebut Penggugat sedang pihak yang digugat disebut Tergugat. Dalam praktek sering ditemukan Penggugat tidak hanya satu orang tetapi bisa lebih, demikian juga Tergugat bahkan kemungkinan terdapat orang lain atau pihak ketiga yang tidak masuk kepada kelompok Penggugat maupun Tergugat tetapi mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan perkara yang diajukan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mau bergabung dengan penggugat maupun dengan Tergugat oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus dilibatkan dalam perkara dan dalam surat gugatan disebut sebagai Turut Tergugat.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT 1. Bentuk dan Kelengkapan Gugatan/Permohonan Adapun bentuk gugatan atau permohonan dapat dibagi 2 (dua) yaitu :   a. Bentuk Tertulis Gugatan atau permohonan bentuk tertulis harus memenuhi syarat formil, dibuat dengan jelas dan terang serta ditanda tangani oleh yang mengajukan (Penggugat/Pemohon) atau kuasanya yang telah mendapat surat kuasa khusus. b. Bentuk Lisan Gugatan atau permohonan bentuk lisan ialah gugatan atau permohonan yang diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan oleh mereka yang buta huruf dan Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada salah seorang pejabat pengadilan, kemudian catatan tersebut diformulasikan menjadi surat gugatan atau permohonan. (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (1) RBg.)
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Syarat-syarat Gugatan Berupa Tuntutan Yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri. Ada Kepentingan Hukum Maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak dan mempunyai kepentingan hukum yang cukup.   Sengketa Yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa maka tidak ada perkara (geen belang, geen actie) Dibuat dengan Cermat dan Terang Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas dan dapat dibuktikan apabila disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga obyeknya. Jika tidak jelas maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur (Obscure Libe.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Unsur-unsur Surat Gugatan Unsur-unsur surat gugatan ada 3 (tiga) yaitu :   1. Identitas dan kedudukan para pihak Menurut ketentuan pasal 67 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Identitas seseorang adalah nama lengkap, umur dan tempat tinggal, tetapi untuk lebih lengkapnya identitas seseorang sebaiknya ditulis juga jenis kelamin, agama dan pekerjaan. Kebiasaan di Peradilan Agama jenis kelamin seseorang dapat diketahui dari nama yang bersangkutan diiringi dengan kata Bin berarti anak laki-laki dari dan kata Binti artinya anak perempuan.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Unsur-unsur Surat Gugatan 2. Posita yaitu penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan sebagai landasan atau dasar dari gugatan tersebut serta dibuat dengan jelas dan terang. Dalam bahasa lain posita disebut Fundamentum Fetendi. Jadi suatu surat gugatan harus memuat peristiwa hukum dan dasar hukum yang dijadikan alasan untuk mengajukan tuntutan.  . 3.Petitum yaitu tuntutan yang diminta oleh Penggugat supaya dikabulkan oleh Hakim. Suatu petitum harus didukung dengan posita dan suatu petitum yang tidak didasarkan pada posita maka petitum tidak akan dikabulkan oleh hakim.  
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan Ada beberapa macam penggabungan (kumulasi) yaitu: A. Kumulasi Subjektif yaitu jika dalam surat gugatan/permohonan terdapat beberapa orang penggugat atau Tergugat. B. Kumulasi Obyektif yaitu Penggugat mengajukan beberapa tuntutan atau gugatan terhadap Tergugat.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan C. Intervensi yaitu ikut sertanya pihak ketiga ke dalam suatu proses perkara karena ada kepentingan hukum atau ditarik sebagai pihak. Kumulasi atau Penggabungan gugatan/permohonan dalam satu surat gugatan/ permohonan berarti terdapat beberapa tuntutan/permohonan. Intervensi diatur dalam pasal 279 -282 R.V. dan ada 3 (tiga) macam bentuk intervensi yang dikenal dalam hukum acara perdata yaitu :   v  Tussenkomst ialah masuknya pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang berlangsung untuk membela kepentingannya sendiri, oleh karena itu ia melawan kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) yang sedang berperkara. v  Voeging adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan memasuki perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan memihak kepada penggugat atau tergugat. v  Vrijwaring adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang berlangsung guna menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan Penggugat
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Gugatan Rekonvensi Yang dimaksud dengan gugatan rekonpensi ialah gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tentang sengketa antara mereka menyangkut hukum kebendaan. Dasar hukum Pasal 132 a dan 132 b HIR/Pasal 157 dan 158 RBg. Syarat-syarat gugatan rekonvensi : 1. Diajukan bersama-sama jawaban, tetapi ada yang berpendapat selama dalam tahap jawab menjawab dan belum sampai ke pembuktian bisa diajukan gugatan rekonpensi. 2. Diajukan terhadap Penggugat inpersona tidak kepada kuasa Penggugat. 3. Menyangkut hukum kebendaan, dalam hal ini sepanjang masih dalam kewenangan Pengadilan Agama. Bukan mengenai pelaksanaan putusan.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Gugatan secara cuma-cuma (prodeo). Gugatan secara cuma-cuma (prodeo) Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui Camat.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA B. TATA CARA SURAT PERMOHONAN Surat permohonan ialah surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berkompeten yang memuat tuntutan hak perdata yang diajukan oleh seseorang atau lebih yang mempunyai kepentingan hukum terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa dan diatur dalam Undang-undang atau ada aturan hukumnya. Contoh perwalian, pengangkatan anak dan lain-lain.   Ciri-ciri Surat Permohonan yaitu : Ada kepentingan hukum. Tidak mengandung sengketa Diatur dalam Undang-undang atau Peraturan Tata Cara Pemerikasaan Perkara
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan Setelah surat gugatan atau permohonan didaftar atau dicatat dalam register induk perkara, maka Panitera Pengadlan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari harus sudah menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Ketua Pengadilan Agama, lalu Ketua Pengadilan memeriksa kelengakapan berkas perkara tersebut, selanjutnya menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut dengan membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH). Kemudian perkara tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim melalui Panitera, lalu Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk tersebut membuat Penetapan Hari Sidang (PHS) dengan menetapkan Hari Sidang dan memerintahkan Juru sita/Juru sita Pengganti untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan Tenggang waktu pemanggilan pihak-pihak berperkara tersebut, tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari antara hari pemanggilan dan hari sidang yang telah ditentukan, artinya panggilan sidang harus sudah diterimakan kepada pihak-pihak berperkara selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari sidang, apabila panggilan disampaikan kepada pihak-pihak berperkara kurang dari 3 (tiga) hari, misalnya 2 (dua) hari sebelum hari sidang, maka panggilan tersebut harus dinyatakan tidak patut/tidak sah. Perkara yang telah resmi terdaftar harus sudah disidangkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan dari pendaftaran perkara, kecuali ada alasan hukum yang membenarkan, misalnya pihak Tergugat berada di luar Negeri
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan Tata Cara Pemanggilan Pihak-pihak Berperkara Untuk menghadirkan pihak-pihak berperkara di muka persidangan, harus dilakukan dengan surat panggilan resmi (relaas panggilan) dengan cara sebagai berikut : 1.Pemanggilan dilakukan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti. 2.Disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan di tempat tinggalnya. Jika yang dipanggil tidak ditemui di tempat tinggalnya panggilan disampaikan 3.melalui Kepala Desa/Lurah setempat. 4.Panggilan sudah disampaikan minimal 3 (tiga) hari sebelum hari sidang. 5.Panggilan pertama kepada Tergugat harus dilampirkan salinan surat gugatan. Dasar hukumnya Pasal 145 dan pasal 718 RBg, Pasal 121 dan Pasal 390 HIR, pasal 26 dan 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan Sebelum memeriksa perkara, Majelis Hakim harus membaca dan mepelajari berkas perkara, dan dalam persidangan Ketua Majelis berada di tengah/diantara dua hakim anggota lalu membuka sidang dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim diiringi dengan mengetukkan palu sebanyak 3 (tiga) kali, selanjutnya Para pihak dipanggil masuk ke ruang sidang, kemudian Majelis Hakim memeriksa identitas para pihak, jika diwakili oleh kuasanya, maka penerima kuasa tersebut harus diperiksa identitasnya dan juga surat kuasanya. Kalimatnya, formatnya atau hubungan hukumnya satu sama lain yang tidak saling mendukung atau mungkin bertentangan sama sekali. Eksepsi dilatoir, eksepsi yang menyatakan bahwa perkara tersebut bersifat prematur, belum waktunya diajukan, misalnya mengenai perjanjian belum habis waktunya. v  Eksepsi prematoir, adalah eksepsi yang menyatakan
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI Terhadap hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal tidak perlu dibuktikan, selain itu masih ada satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, yaitu berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (umum) yang dalam istilah hukum disebut fakta notoir.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA ALAT BUKTI Dalam hukum perdata ada 5 (lima macam) alat bukti yaitu : 1. Surat 2. Saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan. 5. Sumpah Dasar Hukum : Pasal 164 HI/Pasal 284 RBg/ Pasal 1866 BW.

PUTUSAN

  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan atau yang lebih dikenal dengan eksekusi ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara apabila pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan secara sukarela sedang putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan yang bersangkutan telah ditegur atau dianmaning untuk melaksanakan secara sukarela.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan Putusan yang dapat dieksekusi ialah putusan yang bersifat komdemnatoir yaitu : 1.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. (Pasal 196HIR/208 RBg) 2.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. (Pasal 225 HIR/259 RBg) 3.Putusan yang menghukum salah satu pihak mengosongkan suatu benda tetap. (Pasal 1033 RV) 4.Eksekusi riil dalam bentuk lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR/218 RBg..
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan Adapun tatacara eksekusi ialah : 1.Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang bersangkutan. 2.Eksekusi atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah ini dikekluarkan setelah Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan (anmaning) tanpa alasan yang sah dan Tergugat tidak mau melaksanakan amar putusan selama masa peringatan. 3.Dilaksanakan oleh Panitera atau Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi 4.Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek sengketa. 5.Membuat berita acara sita eksekusi
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA E. UPAYA HUKUM Pelaksanaan Putusan Apabila pihak-pihak berperkara (Penggugat dan Tergugat) tidak dapat menerima putusan pengadilan, maka ia dapat menempuh upaya hukum agar putusan pengadilan tersebut dibatalkan dengan cara sebagai berikut: 1.Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan verstek. Dasar Hukum Verstek : Pasal 149 ayat (1) RBg, pasal 125 ayat (1) HIR Dasar Hukum Verzet : Pasal 153 ayat (1) RBg, Pasal 129 ayat (1) HIR. 2.Mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut, yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara kontradiktur. 3.Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan yang memutus perkara yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) apabila tidak dapat menerima putusan banding. 4.Mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
  • BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan Dasar Hukum PK : Pasal 23 UU No.4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No.14 Tahun 1985. Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 1.Putusan telah mempunyai kekuatan hukum (inkrach) 2.Harus ada bukti baru (novum) 3.Tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah Novum ditemukan. 4,Pemohon PK harus disumpah atas penemuan novum tersebut. Catatan : Upaya hukum perkara volunteer adalah kasasi dengan perkataan lain apabila pemohon tidak dapat menerima penetapan yang dijatuhkan hakim, maka ia dapat mengajukan kasasi tanpa melalui proses banding terlebih dahulu, sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENDAHULUAN Di indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah pengadilan agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU no. 7 tahun 1989 dengan UU no. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama, kewenangan peradilan agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, pengadilan agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah [pasal 49 ayat [i] uu no. 3 tahun 2006].
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Ekonomi syariah : adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, Meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 [1] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui : musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH PENGERTIAN Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, Memohon pembatalan Pasal 55 ayat [2]&[3] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
  • ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya, Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Perdamaian(Sulhu) Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Arbitrase Syari’ah (Tahkim) Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha) Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).[.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH CONTOH PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Contoh sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syari’ah. Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli) kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah satu bank syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai kesepakatan.
  • PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH CONTOH PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah tidak bersedia membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syari’ah memilih untuk diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.[10] [10]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, 42.
  • Terima Kasih

PENGAWAS :

  • a. Agus Gunawan, SH., MH & Rekan.

INFORMASI & FUBLIKASI :

  • b. Agus Gunawan, SH
  • Andi, S.PdI
  • Asan Sumarna, S.Pd
  • Budi Alamsah
  • Pendi, S.Pd
  • Usep Setiawan, S.Pd

Selamat Datang

Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) pada Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (BK-RI) Bidang Advokasi dan Litigasi baik diluar maupun didalam Pengadilan, melayani dalam cahaya kebenaran (Serviens in Lumine Veritatis) sejak 1 Juli 2018

Konsultasi hukum dapat dilakukan secara langsung mendatangi kami atau secara daring (online) dengan mengisi google form di menu Konsultasi Hukum.

Halaman

. Profil
. Visi Misi
. Struktur Organisasi
. Publikasi
. Dokumentasi
. Konsultasi Hukum
. Fasilitas
. Kontak & Jam Kerja
. Pembinaan Gang Kavling Gombong Asri, RT/RW 001/008, Desa Limbangansari, Kec. Cianjur Kota , Kab. Cianjur, Provinsi Jawa Barat. INDONESIA

Konsultasi dan Bantuan Hukum (KBH) pada Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia MUBES 2023/2024

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Republik Indonesia Nomor : AHU-0008877.AH.01.07.Tahun 2018 Dan Berdasarkan Undang – undang 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan Serta Undang – undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Pendiri Konsultasi Bantuan Hukum (KBH) Berbadan Hukum Indonesia pada Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Organisasi Kepemudaaan dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kepala Bidang Advokasi dan Litigasi baik diluar maupun didalam Pengadilan Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (OKP BK-RI) Beserta Rekan-rekan

Konsultasi dan Bantuan Hukum Barisan Kepemudaan Republik Indonesia  merupakan salah satu organisasi “Konsultasi Dan Bantuan Hukum” yang dapat digunakan oleh warga masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum sesuai amanah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang merupakan hak dasar pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Barisan Kepemudaan Republik Indonesia telah ter-akreditasi oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan register Nomor : AHU-0008877.AH.01.07.Tahun 2018 Untuk selanjutnya Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum KBH telah bersinergi dan Bersingkronisasi juga telah melakukan kesepakatan dengan Pengacara Gapta, untuk melaksanakan Pengawasan dan Pembinaan Konstitusi dan Bantuan Hukum (KBH) Pada Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (OKP BK-RI) Bidang Advokasi dan Litigasi baik diluar maupun didalam Pengadilan, untuk mendampingi terdakwa dalam menghadapi kasus pemeriksaan kasus-kasus Pidana dan Perdata di Pengadilan Negeri, di Seluruh Indonesia Khususnya bagi masyarakat yang membutuhkan.

Konsultasi Hukum adalah pelayanan jasa hukum berupa nasihat, penjelasan, informasi atau petunjuk kepada anggota masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum, untuk memecahkan masalah yang diihadapinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bantuan Hukum adalah pelayanan jasa hukum berupa pemberian bantuan hukum melalui penasihat hukum dari Lembaga Konstasi dan Bantuan Hukum pada OKP BK-RI atau Lembaga Bantuan Hukum lainnya untuk memberikan pembelaan atas perkara yang dihadapi oleh anggota masyarakat yang membutuhkan, yang ingin memperoleh keadilan dalam berperkara di pengadilan.

Tujuan Konsultasi hukum dan Bantuan Hukum ;

  1. Mewujudkan asas pemerataan kesempatan memperoleh keadilan bagi anggota masyarakat yang memerlukan
  2. Memberi nasihat, penjelasan, informasi, atau petunjuk kepada anggota masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum
  3. Membantu anggota masyarakat yang yang merasa terdolimi dalam memperoleh keadilan di pengadilan

Yang berhak mendapatkan konsultasi dan Bantuan hukum;

  • Anggota masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum.
  • Anggota masyarakat yang membutuhkan atau tidak mampu secara financial dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang harus dihadapi.
Ketua Umum Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (OKP BK-RI) Richard William Selaku Kuasa Hukum Terdakwa, Menegaskan Bahwa Jangan Jadikan Peradilan Sebagai Alat Untuk Melegalkan Pemerasan
Pembacaan Pembelaan Kuasa Hukum Terdakwa Richard William Hukum dari Pengacara Gapta, Membuat Hakim Bingung

Pelaksanaan Konsultasi Hukum dan Bantuan Hukum;

  1. Konsultasi hukum diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM dan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
  2. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dalam melaksanakan konsultasi hukum dan/atau bantuan hukum dapat melakukan kerjasama dengan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi dan/atau dengan Lembaga Bantuan Hukum.
  3. Fakultas Hukum Perguruan Tinggi dan/atau Lembaga Bantuan Hukum yang memberikan konsultasi hukum untuk kepentingan Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (BK-RI).
  4. Setiap anggota masyarakat yang membutuhkan konsultasi dan Bantuan hukum dapat menghubungi Kantor KBH atau Fakultas Hukum dan atau Lembanga Bantuan Hukum yang telah melakukan kerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM atau dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
  5. Setiap anggota masyarakat yang ingin mendapat pelayanan jasa hukum berupa bantuan hukum secara Cuma-Cuma, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Fakultas Hukum atau Lembaga Bantuan Hukum yang telah melakukan kerjasama, dengan melampirkan surat keterangan kurang mampu dari Kepala Desa/Lurah setempat.
  6. Dalam perkara perdata apabila pihak penggugat dan tergugat sama-sama memerlukan Bantuan Hukum, maka BadanPembinaan Hukum Nasional atau Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dapat memberikan Bantuan Hukum kepada kedua belah pihak melalui Fakultas Hukum Perguruan Tinggi dan/atau Lembaga Bantuan Hukum yang telah melakukan kerjasama.
  7. Fakultas Hukum Perguruan Tinggi dan Lembaga Bantuan Hukum menyampaikan laporan tertulis mengenai pelaksanaan konsultasi hukum atau bantuan hukum yang telah dilakukan, dengan menggunakan formulir yang formatnya ditetapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM.
  8. Laporan tersebut disampaikan kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM melalui Kepala Pusat Penyuluhan Hukum sebelum tahun anggaran berakhir, yang berisi rekapitulasi dan evaluasi.
  9. Pertanggungjawaban keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pelaksanaan kegiatan konsultasi hukum dan bantuan hukum pada Kementerian Hukum dan HAM.

Sumber : Peraturan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor PHN-HN.03.01-01Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Diskusi, Pameran, Konsultasi, dan Bantuan Hukum

Editing : R. Rudy Ugt Pendiri Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia

VISUAL KEGIATAN

Visualisasi Advokasi dan Litigasi di Pengadilan Negeri Kota Bandung pada hari Kamis 09/11/ 2023

Ketua Umum Organisasi Barisan Kepemudaan Republik Indonesia (OKP BK-RI) Richard William dari Pengacara Gapta di Kota Bandung pada hari Kamis 09/11/2023 hadiri sidang ke 3 guna mendampingi Direktur Utama PT. Sela Bara, Muhammad Darwis diduga menjadi korban kriminalisasi hukum kini tengah menjalani sidang ke 3 di Pengadilan Negeri Kota Bandung. Perkara hukum yang dihadapinya merupakan bentuk skenario yang melibatkan oknum penyidik Polda Jabar, serta JPU.

Bidang Kegiatan Advokasi Litigasi di Pengadilan Negeri Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. INDONESIA

Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permen Agraria/BPN 9/1999”) mendefinisikan pembatalan hak atas tanah sebagai pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkracht.

Selain karena alasan administratif, pembatalan sertifikat hak atas tanah juga dapat terjadi dalam hal ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikat itu adalah secara sah dan nyata miliknya dan hal tersebut didukung dengan adanya putusan pengadilan yang telah inkracht.

Tidak ada perbedaan antara pembatalan sertifikat hak atas tanah dengan pembatalan hak atas tanah, karena akibat dari pembatalan sertifikat hak atas tanah, maka batal pula hak atas tanah tersebut.

Permohonan Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Mekanisme tersebut diatur pada Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999.

Permohonan dapat dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan sertifikat itu sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999 sebagai berikut:

Pasal 106 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999 Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

Peralihan Hak Atas Tanah Cacat Hukum

Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999
Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah:
Kesalahan prosedur;
Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
Kesalahan subjek hak;
Kesalahan objek hak;
Kesalahan jenis hak;
Kesalahan perhitungan luas;
Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
Data yuridis atau data data fisik tidak benar; atau Kesalahan lainnya yang bersifat administratif

Surat Keterangan Waris (SKW)

Berdasarkan perspektif Pasal 106 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan, Notaris memiliki wewenang untuk membuat surat keterangan waris tanpa memperhatikan penggolongan penduduk.

Pewarta : Rudy Ugt
Uploader : Admin 1
Copyright © KONTEN 88 2024