www.bkrinews.or.id || Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimal Calon Presiden – Calon Wakil Presiden yang diucapkan pada Senin (16/10/2023), muncul sejumlah laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terhadap para hakim konstitusi yang memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Atas seluruh laporan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Pembentukan MKMK ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 (PMK Nomor 1 Tahun 2023).
Terdapat tiga nama tokoh yang ditunjuk sebagai MKMK yakni Ketua MK periode pertama Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, serta Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Jimly mewakili unsur tokoh masyarakat, Wahiduddin Adams mewakili hakim konstitusi yang masih aktif dan Bintan mewakili akademisi.
MKMK dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
MKMK berwenang menjaga keluhuran martabat dan kehormatan Mahkamah juga memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Sejatinya MKMK memiliki waktu selama 30 hari untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, namun MKMK menyampaikan akan memutus dugaan pelanggaran tersebut sebelum tanggal 8 November 2023.
Sebab tanggal 8 November 2023 adalah kesempatan terakhir untuk mengusulkan bakal pasangan calon pengganti.
Apakah Putusan MKMK dapat mengubah atau menganulir Putusan MK?
Mencermati Pasal 41 PMK Nomor 1 Tahun 2023, terdapat 3 jenis sanksi yang dapat diberikan kepada hakim konstitusi yang melanggar, berupa: teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Apabila hakim konstitusi diputus pemberhentian tidak dengan hormat, maka ada kesempatan untuk membela diri yang dilakukan di hadapan sidang Majelis Kehormatan Banding dengan komposisi anggota Majelis Kehormatan yang berbeda dengan sidang sebelumnya.
Artinya, ada perangkat lanjutan yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi yang berwenang memeriksa dan memutus Permohonan Banding terhadap Putusan MKMK mengenai pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Selanjutnya, tidak terdapat ketentuan dalam PMK Nomor 1 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa Putusan MKMK dapat mengubah atau menganulir Putusan MK.
Perlu diketahui bahwa MKMK merupakan peradilan etika. Sama halnya seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bisa dibilang menjadi pelopor dalam peradilan etika di Indonesia yang mana proses peradilannya dilakukan seperti peradilan umum dan persidangannya dilakukan secara terbuka.
Meskipun bertindak sebagai peradilan etika, namun ada suatu hal menarik yang pernah diputus oleh DKPP yang menurut saya bisa menjadi landmark decision. Apa itu?
Sidang putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan sah dukungan Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur Khofifah-Herman.
Dengan putusan ini, pasangan Khofifah-Herman yang awalnya dinyatakan tidak lolos oleh KPU Jawa Timur akhirnya punya harapan untuk melaju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013.
Pada sidang sebelumnya terungkap, salah satu yang menyebabkan tidak lolosnya pasangan Khofifah-Herman karena KPU Jawa Timur menganulir dukungan dua parpol tersebut disebabkan ada dualisme dukungan akibat ada pertentangan ketua dan sekjennya. Akan tetapi DKPP menilai, KPU Jawa Timur tidak serius melakukan verifikasi atas dualisme itu.
Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, KPU RI meninjau ulang atau membatalkan Keputusan KPU Jawa Timur Nomor 18/Kpts/KPU-Prov-014/2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada Jawa Timur 2013 dan mengganti dengan Keputusan KPU Nomor 41 yang isinya menetapkan pasangan Khofifah-Herman sebagai peserta Pilkada Jawa Timur 2013.
MKMK dalam memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi menemukan adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim konstitusi, maka bisa saja Putusan MKMK tersebut menjadi dasar untuk mengubah atau menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Namun apabila ada hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat dan dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat, masih ada mekanisme di Mahkamah Kehormatan Banding yang dapat ditempuh oleh hakim konstitusi yang dijatuhi sanksi.
Apabila hal tersebut terjadi, maka Putusan MKMK belum bersifat final and binding. Artinya, dengan adanya kemungkinan hakim konstitusi tersebut membela diri di Mahkamah Kehormatan Banding, maka Putusan MKMK tidak serta merta bisa dijalankan sedangkan tahapan Pemilu tetap berjalan sehingga kecil kemungkinan terjadi pergantian bakal pasangan Calon Presiden – Calon Wakil Presiden.
Penulis: Vincent Suriadinata, SH., MH. (Advokat, Managing Partner Mustika Raja Law Office, Alumni FH Universitas Kristen Satya Wacana dan MIH FH Universitas Indonesia) (**)