Jakarta || www.bkrinews.or.id, Putusan yang sudah diucapkan harus dilaksanakan, tidak bisa dilawan dan tidak bisa pula dikoreksi. Putusannya pasti benar, tak bisa salah. Jika ternyata salah pun, harus selalu dianggap benar dan wajib dipatuhi.
Hakim Konstitusi, ibarat sembilan dewa hukum yang eksistensinya tercermin dalam wujud sembilan pilar besar di bagian depan gedung MK.
Agar perilaku sembilan dewa hukum tersebut, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menangani perkara konstitusi, MK menerbitkan Kode etik dan Pedoman Perilaku Konstitusi yang disebut Sapta Karsa Hutama. (PERMA No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi)
Sapta Karsa Hutama memuat tujuh prinsip yang menjadi mahkota bagi Hakim Konstitusi yaitu (i) Independensi, (ii) Imparsialitas, (iii) Integritas (iv) Kepantasan dan Kesopanan, (v) Kesetaraan (vi) Kecakapan dan Keseksamaan, dan terakhir (vii) Kearifan Kebijaksanaan.
Proses pemeriksaan terhadap laporan Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi, cs baru dimulai.
Terlepas dari apa pun kelak hasilnya, – termasuk jika dugaan terbukti – Putusan MKMK tsb tidak dapat menganulir, bahkan tidak mempengaruhi apapun terhadap Putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuning.
Sebab, putusan MK tersebut sudah final dan telah dilaksanakan kemarin, (Rabu, 25/10) ketika pasangan PS – GR diterima di KPU.
Namun, hiruk pikuk pasca putusan MK, tudingan miring terhadap MK, munculnya laporan pengaduan dari masyarakat, julukan Mahkamah Keluarga, pembentukan MKMK dan proses pemeriksaan yang dilaporkan Ketua MK, cs sebagai prahara besar yang menjadi penanda awal runtuhnya demokrasi konstitusional.
Dan itu, sangat… tersedot sekali. 😢😥 Bahkan melirik sekali….
Sembilan jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah para pengawal konstitusi yang gagah. Sembilan jubah merah bukan drakula – drakula haus darah, bukan penjagal konstitusi yang membuat rakyat marah. (Prof. Laica Marzuki – Hakim Konstitusi) (Red)